(mereka berhak marah)
Oleh
: Jhaihan Farah Nabila (Mahasiswa Universitas Pancasila)
Perilaku
agresif atau menyakiti orang lain baik secara verbal (mengejek, mencela,
berkata-kata kasar, bullying , dsb) ataupun non verbal (memukul, menyebarkan
teror, dsb) merupakan tindakan melanggar hukum karena salah satu pihak
diantaranya dirugikan dan tidak menginginkan tindakan agresif ini.
Sayang
nya perilaku ini lagi-lagi menjadi momok yang menakutkan bagi bangsa kita yang
memang moral nya kian hari kian menipis. Secara kualitas kasus agresif bahkan
menungjukkan peningkatan diantaranya kualitas menggunakan senjata saat tawuran
bukan lagi menggunakan batu tapi samurai, bukan hanya pada masyarakat tanpa
intelektual tapi kaum intelektual sekelas pelajar pun banyak menjadi pelaku
perilaku agresif dalam setting grup maupun individual.
Pertanyaan
terbesar terbesit dalam benak saya adalah dimana harmoni yang selalu ada dalam
budaya kolektif? Mengapa mereka merusak moral mereka dan media malah
menjadikannya konsumsi anak-anak karena terus saja mengulangnya dalam tayangan
berita?
Tak
ada yang bisa disalahkan ketika memang moral sudah rusak akhirnya manusia hanya
dikuasai oleh nafsu tanpa akal.
Baru
–baru ini, ya baru-baru ini ada cerita dari Negara ku di Sulawesi sana tempat
para kaum intelektual menimba ilmu di keroyoki para penegak hukum berseragam di
dalam kampus.
Mungkin
peristiwa ini bisa kita sebut perilaku agresif, dimana unsur-unsurnya yang
terpenuhi adalah adanya korban, korban tidak menginginkan perilaku agresif
tersebut, dan adanya pihak yang menyakiti.
Rusak
sudah reputasi dari para penegak hukum ini ,
memang.
Makin
buruk sudah citra mereka di mata para masyarakat, tentu.
Terpuruk
sudah mental mereka para penegak hukum,
bisa begitu.
Seperti
itu lah kira nya kutukan dari beberapa
lapisan masyarakat pada penegak hukum ini, mereka yang mengutuk itu bukan hanya
para korban tapi masyarakat yang hanya tahu kabar lewat media pun ikut
bersumpah serapah seolah tak mau paham.
Kusebut
alasan mereka yang tidak tahu ikut menghujat adalah karena adanya priming effect ini terjadi karena adanya akumulasi pemahaman
negatif terhadap penegak hukum berseragam cokelat tua dari masyarakat. Fenomena
priming effect ini tak ayal karena
beberapa oknum penegak hukum berseragam cokelat sendiri yang membentuk beberapa
kesan negatif di masyarakat contohnya “polisi tukang tilang” , “polisi ga punya
duit”, “polisi galak tukang sidang”, “sipil bersenjata sok galak” , begitu
kira-kira kesan untuk para penegak hukum yang dibentuk masyarakat. Ini tak
salah karena jika ditinjau dari tugas para polisi sendiri memang untuk
melayani, mengabdi kepada masyarakat Negara malah seolah-olah jadi monster
yang ditakuti karena beberapa oknum
menyalah gunakan wewenang.
Saling
tidak percaya, saling menyalahkan, ada yang ditakuti, ada yang ditindas, bukankah
itu semua apa yang dilakukan para kapitalis? Kita bukan kapitalis, dan tidak
akan pernah jadi kapitalis.
Seperti
composer musik yang memahami bagaimana membuat nada-nada terpisah menjadi
harmoni dalam lagu. Seperti itu lah Dunia dibuat untuk saling memahami, dengan
memahami tidak ada yang berasumsi, menghujat, menilai sebelah tangan, karena
satu kata memahami.
Para
penegak hukum itu mungkin memiliki alasan mengapa mereka berprilaku demikian.
Jika kita pandang dengan mata tertutup memang apa yang dilakukan mereka tak
bermoral dan tak sepantasnya penegak hukum menginjak-injak hukum. Jika bangsa
kita memang dibesarkan karena kesatuan dan toleransi, maka tak seharusnya
menilai dengan mata tertutup.
Manusia
berlaku dengan motif. Manusia berlaku dengan motif. Hanya kadang motif
menguasai kesadaran dan hilangkan kendali diri.
Para
penegak hukum yang bertugas hanya dengan gaji seadanya, jauh dari para pemimpin
yang setiap hari nya duduk seperti raja-raja jawa di ruangan sejuk yang digaji
dolar.
Para
kaum intelektual dengan almamater nya menyuarakan demokrasi sebagaimana yang
mereka yakini saja, mereka berteriak menyalahkan para penguasa atas keputusan
mereka yang memberatkan rakyat, tak ada salahnya memang demonstrasi jika itu
memang karena kritis mu tapi tidak untuk golonganmu, suara kaum intelektual
memang bisa jadi yang paling didengar oleh para penguasa itu, tapi kalau memang
intelektual berlaku lah sebagaimana kaum intelektual mengkritisi pemimpinnya.
Tak
ada yang contohkan kaum intelektual untuk menjadi perusak fasilitas umum
Tak
ada yang contohkan kaum intelektual berteriak dengan bahasa yang tak indah
Beberapa
bahkan harus jadi korban saat demokrasi disuarakan oleh oknum pencoreng citra
kaum intelektual.
Mereka
para penegak hukum sebetulnya sudah terlalu jenuh dengan tugas mereka walau
hanya menertibkan sekedar jalan padahal manusia yang justru berdasi yang saling
srobot setiap pagi dan sore.
Gaji
mereka pun bukan dollar, lalu harus mereka bagi dengan anak dan istri mereka di
rumah, belum lagi sudah menjadi hobi memang sesuatu yang tidak sesuai porsi
terjadi di Indonesia.
Setiap
aksi merusak, setiap merusak penegak hukum dianggap tak becus hadapi mahasiswa.
Setiap
aksi jatuh korban, setiap jatuh korban keluarga menuntut dan mengutuk penegak
hukum dengan kata-kata tak humanis.
Tak
ada salahnya sesekali mereka frustasi, mereka yang kumaksudkan adalah para
penegak hukum tadi.
Ketika
frustrasi karena mereka manusia merekapun memiliki dorongan yang bisa dipandang
manusiawi untuk menyakiti pihak lain, atau pihak yang kumaksud disini adalah
mahasiswa. (Teori Frustasi Agresi, Baron& Bryne, 2010).
Lihat
dirimu jika tidak percaya saat frustasi apa yang dilakukan? Apakah terus sabar,
semut pun diinjak sebelum mati masih bisa menyengat atau menggigit karena itu
manusiawi.
Tak
ada yang berusaha memahami ini karena semua hanya merasa menjadi pusat, menjadi
benar dan ketika hasilnya negatif maka terus menganggap diri benar, tidak
berusaha untuk paham, tak ada yang suruh kita jadi orang bijak tapi sedikit
saja menjadi orang yang memahami.
Belum
lagi media yang terus saja memberitakan ini sehingga kekesalan terus saja
berkecamuk pada manusia-manusia yang memang sudah kena dampak priming ini, tak ada yang tahu kan kalau
itu semua adalah cara para kapitalis mengadu domba. Merusak harmoni bagai biola
tak berdawai. Mereka lakukan itu supaya kita saling membenci, saling
menyalahkan tapi lupa untuk menyalahkan orang paling dekat yaitu diri sendiri.
Semua
selalu melihat kedepan tapi selalu tak melihat apa yang ada di balik cermin.
Kaum
intelektual , mahasiswa kau memang dikehendaki untuk kritis pada permasalahan
Negara mu tapi kritis mu haruslah dibarengi solusi tanpa merusak.
Penegak
hukum, berusaha bertindak sesuai porsi kalau memang hukum itu demi tercapainya
keadilan maka bertindaklah me-adil. Reputasi mu memang buruk tapi tak mustahil
untuk jadi baik.
Media,
berhentilah membuat opini yang tak seharusnya dibuat, berkatalah kejujuran
karena Negara ini tidak hanya penuh dengan masalah , keindahan dan kejujuran
pun masih banyak
Para
cendekiawan seperti Gie, Wahid, Syahrir, Bung Karno, Hatta, mereka sudah tidak
ada namun setidaknya mereka mewariskan ideologi yang jauh sekali dengan
kenyataan bangsa kita adanya sekarang.
Mereka
sudah tidak ada, sisa kehidupan sekarang hanya para PENGUASA yang tak tahu
kapan sadar bahwa mereka tak berarti bisa kuasai hidup kita hanya dengan
kebijakannya. Para intelektual yang lupa diri karena kritis lupa dengan moral,
dan media yang terus menerus di paksa untuk menyajikan kebohongan agar
lama-lama kami muak, rakyat-rakyat yang
bergelimangan harta dan rakyat-rakyat yang sengsara, dan para penegak hokum
yang jujur dan oknumnya yang menginjak-injak hukum untuk mendapat uang sekedar 50.000 sampai ratusan dollar..
Memang
tak salah jika kita tak tahu karena itu kita harus lebih pintar dari para
kapitalis, kita harus lebih radikal dari para zionis, kita harus lebih erat
dari para komoditi.
Mahasiswa,
berhenti merusak, kau kaum intelektual bukan perusak
Penegak
hukum berhenti menginjak-injak hukum agar kau tak ditakuti dan dekat dengan
kami
Para
rakyat cintai apapun yang bangsa kita miliki, jika tidak ada berarti memang
tidak ada jangan meminta yang seharusnya harus diusahakan sendiri. Negaramu kaya
raya.
Sekarang, sekarang, sekarang!
Lir-ilir!