Sabtu, 15 November 2014

(Satu Berita Buruk Untuk Negara)


  (mereka berhak marah)                                                                                                               
Oleh : Jhaihan Farah Nabila (Mahasiswa Universitas Pancasila)

Perilaku agresif atau menyakiti orang lain baik secara verbal (mengejek, mencela, berkata-kata kasar, bullying , dsb) ataupun non verbal (memukul, menyebarkan teror, dsb) merupakan tindakan melanggar hukum karena salah satu pihak diantaranya dirugikan dan tidak menginginkan tindakan agresif ini.
Sayang nya perilaku ini lagi-lagi menjadi momok yang menakutkan bagi bangsa kita yang memang moral nya kian hari kian menipis. Secara kualitas kasus agresif bahkan menungjukkan peningkatan diantaranya kualitas menggunakan senjata saat tawuran bukan lagi menggunakan batu tapi samurai, bukan hanya pada masyarakat tanpa intelektual tapi kaum intelektual sekelas pelajar pun banyak menjadi pelaku perilaku agresif dalam setting grup maupun individual.
Pertanyaan terbesar terbesit dalam benak saya adalah dimana harmoni yang selalu ada dalam budaya kolektif? Mengapa mereka merusak moral mereka dan media malah menjadikannya konsumsi anak-anak karena terus saja mengulangnya dalam tayangan berita?
Tak ada yang bisa disalahkan ketika memang moral sudah rusak akhirnya manusia hanya dikuasai oleh nafsu tanpa akal.
Baru –baru ini, ya baru-baru ini ada cerita dari Negara ku di Sulawesi sana tempat para kaum intelektual menimba ilmu di keroyoki para penegak hukum berseragam di dalam kampus.
Mungkin peristiwa ini bisa kita sebut perilaku agresif, dimana unsur-unsurnya yang terpenuhi adalah adanya korban, korban tidak menginginkan perilaku agresif tersebut, dan adanya pihak yang menyakiti.
Rusak sudah reputasi dari para penegak hukum ini ,  memang.
Makin buruk sudah citra mereka di mata para masyarakat, tentu.
Terpuruk sudah mental mereka para  penegak hukum, bisa begitu.

Seperti itu lah  kira nya kutukan dari beberapa lapisan masyarakat pada penegak hukum ini, mereka yang mengutuk itu bukan hanya para korban tapi masyarakat yang hanya tahu kabar lewat media pun ikut bersumpah serapah seolah tak mau paham.
Kusebut alasan mereka yang tidak tahu ikut menghujat  adalah karena adanya priming effect ini terjadi karena adanya akumulasi pemahaman negatif terhadap penegak hukum berseragam cokelat tua dari masyarakat. Fenomena priming effect ini tak ayal karena beberapa oknum penegak hukum berseragam cokelat sendiri yang membentuk beberapa kesan negatif di masyarakat contohnya “polisi tukang tilang” , “polisi ga punya duit”, “polisi galak tukang sidang”, “sipil bersenjata sok galak” , begitu kira-kira kesan untuk para penegak hukum yang dibentuk masyarakat. Ini tak salah karena jika ditinjau dari tugas para polisi sendiri memang untuk melayani, mengabdi kepada masyarakat Negara malah seolah-olah jadi monster yang  ditakuti karena beberapa oknum menyalah gunakan wewenang.
Saling tidak percaya, saling menyalahkan, ada yang ditakuti, ada yang ditindas, bukankah itu semua apa yang dilakukan para kapitalis? Kita bukan kapitalis, dan tidak akan pernah jadi kapitalis.
Seperti composer musik yang memahami bagaimana membuat nada-nada terpisah menjadi harmoni dalam lagu. Seperti itu lah Dunia dibuat untuk saling memahami, dengan memahami tidak ada yang berasumsi, menghujat, menilai sebelah tangan, karena satu kata memahami.

Para penegak hukum itu mungkin memiliki alasan mengapa mereka berprilaku demikian. Jika kita pandang dengan mata tertutup memang apa yang dilakukan mereka tak bermoral dan tak sepantasnya penegak hukum menginjak-injak hukum. Jika bangsa kita memang dibesarkan karena kesatuan dan toleransi, maka tak seharusnya menilai dengan mata tertutup.
Manusia berlaku dengan motif. Manusia berlaku dengan motif. Hanya kadang motif menguasai kesadaran dan hilangkan kendali diri.
Para penegak hukum yang bertugas hanya dengan gaji seadanya, jauh dari para pemimpin yang setiap hari nya duduk seperti raja-raja jawa di ruangan sejuk yang digaji dolar.
Para kaum intelektual dengan almamater nya menyuarakan demokrasi sebagaimana yang mereka yakini saja, mereka berteriak menyalahkan para penguasa atas keputusan mereka yang memberatkan rakyat, tak ada salahnya memang demonstrasi jika itu memang karena kritis mu tapi tidak untuk golonganmu, suara kaum intelektual memang bisa jadi yang paling didengar oleh para penguasa itu, tapi kalau memang intelektual berlaku lah sebagaimana kaum intelektual mengkritisi pemimpinnya.
Tak ada yang contohkan kaum intelektual untuk menjadi perusak fasilitas umum
Tak ada yang contohkan kaum intelektual berteriak dengan bahasa yang tak indah
Beberapa bahkan harus jadi korban saat demokrasi disuarakan oleh oknum pencoreng citra kaum intelektual.

Mereka para penegak hukum sebetulnya sudah terlalu jenuh dengan tugas mereka walau hanya menertibkan sekedar jalan padahal manusia yang justru berdasi yang saling srobot setiap pagi dan sore.
Gaji mereka pun bukan dollar, lalu harus mereka bagi dengan anak dan istri mereka di rumah, belum lagi sudah menjadi hobi memang sesuatu yang tidak sesuai porsi terjadi di Indonesia.
Setiap aksi merusak, setiap merusak penegak hukum dianggap tak becus hadapi mahasiswa.
Setiap aksi jatuh korban, setiap jatuh korban keluarga menuntut dan mengutuk penegak hukum dengan kata-kata tak humanis.




Tak ada salahnya sesekali mereka frustasi, mereka yang kumaksudkan adalah para penegak hukum tadi.
Ketika frustrasi karena mereka manusia merekapun memiliki dorongan yang bisa dipandang manusiawi untuk menyakiti pihak lain, atau pihak yang kumaksud disini adalah mahasiswa. (Teori Frustasi Agresi, Baron& Bryne, 2010).
Lihat dirimu jika tidak percaya saat frustasi apa yang dilakukan? Apakah terus sabar, semut pun diinjak sebelum mati masih bisa menyengat atau menggigit karena itu manusiawi.
Tak ada yang berusaha memahami ini karena semua hanya merasa menjadi pusat, menjadi benar dan ketika hasilnya negatif maka terus menganggap diri benar, tidak berusaha untuk paham, tak ada yang suruh kita jadi orang bijak tapi sedikit saja menjadi orang yang memahami.

Belum lagi media yang terus saja memberitakan ini sehingga kekesalan terus saja berkecamuk pada manusia-manusia yang memang sudah kena dampak priming ini, tak ada yang tahu kan kalau itu semua adalah cara para kapitalis mengadu domba. Merusak harmoni bagai biola tak berdawai. Mereka lakukan itu supaya kita saling membenci, saling menyalahkan tapi lupa untuk menyalahkan orang paling dekat yaitu diri sendiri.  
Semua selalu melihat kedepan tapi selalu tak melihat apa yang ada di balik cermin.
Kaum intelektual , mahasiswa kau memang dikehendaki untuk kritis pada permasalahan Negara mu tapi kritis mu haruslah dibarengi solusi tanpa merusak.
Penegak hukum, berusaha bertindak sesuai porsi kalau memang hukum itu demi tercapainya keadilan maka bertindaklah me-adil. Reputasi mu memang buruk tapi tak mustahil untuk jadi baik.



Media, berhentilah membuat opini yang tak seharusnya dibuat, berkatalah kejujuran karena Negara ini tidak hanya penuh dengan masalah , keindahan dan kejujuran pun masih banyak
Para cendekiawan seperti Gie, Wahid, Syahrir, Bung Karno, Hatta, mereka sudah tidak ada namun setidaknya mereka mewariskan ideologi yang jauh sekali dengan kenyataan bangsa kita adanya sekarang.
Mereka sudah tidak ada, sisa kehidupan sekarang hanya para PENGUASA yang tak tahu kapan sadar bahwa mereka tak berarti bisa kuasai hidup kita hanya dengan kebijakannya. Para intelektual yang lupa diri karena kritis lupa dengan moral, dan media yang terus menerus di paksa untuk menyajikan kebohongan agar lama-lama kami muak, rakyat-rakyat  yang bergelimangan harta dan rakyat-rakyat yang sengsara, dan para penegak hokum yang jujur dan oknumnya yang menginjak-injak hukum untuk mendapat  uang sekedar 50.000 sampai ratusan dollar..
Memang tak salah jika kita tak tahu karena itu kita harus lebih pintar dari para kapitalis, kita harus lebih radikal dari para zionis, kita harus lebih erat dari para komoditi.
Mahasiswa, berhenti merusak, kau kaum intelektual bukan perusak
Penegak hukum berhenti menginjak-injak hukum agar kau tak ditakuti dan dekat dengan kami
Para rakyat cintai apapun yang bangsa kita miliki, jika tidak ada berarti memang tidak ada jangan meminta yang seharusnya harus diusahakan sendiri. Negaramu kaya raya.
Sekarang, sekarang, sekarang!
Lir-ilir!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar