Sekarang,
Aku
tidak menemukan arti kesatuan dalam bangsa ku sendiri. Padahal bangsa ku bangsa
yang berdiri karena kosepsi nya tentang persatuan dan kesatuan.
Setiap
hari bangsa ini semakin jadi bangsa yang munafik.
Orang-orang
yang teriakan kesatuan, kemanusiaan, keadilan, selalu berteriak atas nama
gologannya saja
Orang-orang
yang bicara paling keras soal kesatuan, toleransi, kepedulian, selalu bicara
dengan nada mencibir seseorang yang bukan golongannya.
Aku
aneh dengan Negara ini, kesatuan demi bangsa? Oh mungkin bangsa nya makin
banyak, sama banyaknya dengan ideologi baru yang lahir dengan nama dan warna
bendera nya nanti.
Kesatuan
apa yang lahirkan banyak tiang diselimuti bendera kuning, merah, biru dan
banyak lagi macamnya?
Kalau
satu tujuannya, kenapa ideologi nya banyak juga?
Tak
salah kan kalau aku bilang mereka munafik? Di bangsaku sendiri jaminan hidup
mewah baru bisa terpenuhi setelah aku menjadi bagian dari salah satu ideologi
mereka. Minimal aku akan menikmati uang lima puluh ribu kalau aku memberikan
suara ku pada salah satu warna.
Aku
kira mau merah, kuning, biru paling depan tidak ada masalah karena bukan posisi
paling depan tujuan dari para pengabdi untuk Negara ini..
Makanya
aku bilang pada tulisanku sebelumnya tentang “Demokrasi itu pesta rakyat” itu
munafik dan hanya topeng. Yang benar itu pesta golongan yang didalamnya diikuti
rakyat yang hanya ikut mengibarkan
warna-warna dan menegakkan tiang tadi dengan suara mereka saat pemilu.
Aku
heran, terus saja heran ketika warna merah dan putih harus jadi dompleng untuk
warna lain berkibar paling tinggi.
Ternyata
hanya saat berteriak mereka berbicara soal kepentingan bangsa dan soal
kesatuan, saat berbicara dan berlaku dalam kesehariannya yang mereka selalu didasari golongannya sendiri.
Kemanusiaan
?
Apanya
yang kemanusiaan kalau jumlah berapa
rakyat yang kelaparan di Negara sendiri saja tidak tahu ( Memandang sinis).
Patriotisme?
Ada
memang, tapi bukan untuk Negara lagi. Karena yang aku lihat mereka hanya mau
berkorban uang untuk memberi duit-duit dalam menutupi kebenaran, termasuk
membungkam perut-perut rakyat dengan uang agar tidak meneriaki mereka saat
mereka kebablasan.
Nasionalisme
?
Bagaimana
nasionalisme itu lahir saat kita lupa akan akar kita sendiri, budaya-budaya
dilelang habis oleh mode dengan alasan globalisasi, apapun yang tradisional
dianggap kuno padahal seperti itulah Indonesia, nasionalisme “tai kucing” kalau
mau bicara dengan pemimpin Negara sendiri saja harus bergulat dengan aparat.
Lihat
bagaimana jepang membangun negaranya, mereka tidak punya pilihan lain selain
berkorban. Keluar duit banyak saat ini bukan masalah Karena dikemudian hari
Negara mereka jauh lebih baik dari sebelumnya.
Bagaimana
bisa Negara ini dibangun dengan tujuan untuk kesatuan tapi golongan-golongan
ini malah berlomba mencari posisi bukan mencari cara bagaimana Negara ini berdiri,
di kaki sendiri.
Rakyat-rakyat
dibuat hancur wawasannya tentang negaranya sendiri saat mereka harus sibuk
dengan media sosialnya.
Aku
sendiri tak bisa tahu kabar tentang Negara ku saat media-media ini dikuasai
oleh golongan-golongan dan kabar Negara menjadi banyak versi.
Tidak
ada pilihan selain memang bergerak. Menjadi kritis adalah hal mutlak yang bisa
dilakukan oleh mahasiswa. Karena hanya mahasiswa dan seorang pelajar yang tahu bagaimana
bahasa untuk berteriak.
Aparat
mungkin akan bicara dengan senjata karena mereka memang hanya mendengar letupan
senjata saat dilapangan tembak.
Rakyat
kelaparan mungkin akan berteriak meminta makan dan teriakan mereka akan
berhenti hanya dengan uang atau bahkan sepiring nasi.
Menurutku
mahasiswa adalah lapisan pemuda yang paling tepat berteriak karena mereka yang
tau bagaimana berbicara, tanpa menggurui tapi aspirasi tentang keadaan bangsa
nya sendiri.
Mahasiswa
jurusan ekonomi mungkin akan berbicara soal harga-harga yang semakin naik
dengan hitungan mereka sendiri.
Mahasiswa
hukum mungkin akan berbicara soal dasar Negara, ketidak adilan hukum dan
pelanggarannya.
Mereka
harusnya mengkritisi, berbicara dengan bahasa pendidikan mereka kalau ketidak
adilan itu memang terjadi.
Generasi
ku memang ditinggalkan banyak tanggung jawab lebih berat yang dihasilkan oleh
generasi tua dengan golongannya yang merusak sekarang dan sebelumnya.
Tidak
ada jalan lain selain kepedulian,
Tidak
ada waktu lagi untuk perbaiki Negara lewat masuk golongan karena aku tak punya
modal banyak untuk membeli suara seperti
yang generasi tua lakukan.
Aku
tak salahkan generasi tua yang jadi pengacau atau yang mengacau, aku berterima
kasih untuk menjadi tahu akan kesatuan saat golongan-golongan itu diciptakan
oleh mereka.
Aku
memang bukan Soekarno yang bisa pengaruhi dunia lewat pidatonya saja, aku juga
bukan Syahrir, Hatta yang punya semangat untuk memberontak. Generasiku bahkan sekarang bukan lagi melawan
penjajah tapi melawan bangsa ku sendiri.
Melawan
pemerintah dan golongan-golongan penguasa yang tak tahan kritik.
Dunia
tidak akan jadi sarang lagi bagi pejuang-pejuang yang selalu lupa arah
perjuangannya sendiri kalau kita punya kendali.
Kendali
akan kekuasaan, uang, kejujuran, kekuatan, keserakahan.
Keinginanku
sudah bulat untuk menghentikan kejadian hari ini agar aku tidak menjadi
generasi yang termakan sejarah.
Saatnya
untuk berkorban, bukan lagi berharap
keadilan pada mereka yang berjuang dengan golonganya saja.
Sekarang.
Oleh : Jhaihan Farah
Nabila
Tidak ada komentar:
Posting Komentar