Sabtu, 26 Juli 2014

tulisan harian mahasiswa. bukan negarawan

Sekarang,

Aku tidak menemukan arti kesatuan dalam bangsa ku sendiri. Padahal bangsa ku bangsa yang berdiri karena kosepsi nya tentang persatuan dan kesatuan.
Setiap hari bangsa ini semakin jadi bangsa yang munafik.
Orang-orang yang teriakan kesatuan, kemanusiaan, keadilan, selalu berteriak atas nama gologannya saja
Orang-orang yang bicara paling keras soal kesatuan, toleransi, kepedulian, selalu bicara dengan nada mencibir seseorang yang bukan golongannya.
Aku aneh dengan Negara ini, kesatuan demi bangsa? Oh mungkin bangsa nya makin banyak, sama banyaknya dengan ideologi baru yang lahir dengan nama dan warna bendera nya nanti.
Kesatuan apa yang lahirkan banyak tiang diselimuti bendera kuning, merah, biru dan banyak lagi macamnya?
Kalau satu tujuannya, kenapa ideologi nya banyak juga?
Tak salah kan kalau aku bilang mereka munafik? Di bangsaku sendiri jaminan hidup mewah baru bisa terpenuhi setelah aku menjadi bagian dari salah satu ideologi mereka. Minimal aku akan menikmati uang lima puluh ribu kalau aku memberikan suara ku pada salah satu warna.

Aku kira mau merah, kuning, biru paling depan tidak ada masalah karena bukan posisi paling depan tujuan dari para pengabdi untuk Negara ini..
Makanya aku bilang pada tulisanku sebelumnya tentang “Demokrasi itu pesta rakyat” itu munafik dan hanya topeng. Yang benar itu pesta golongan yang didalamnya diikuti  rakyat yang hanya ikut mengibarkan warna-warna dan menegakkan tiang tadi dengan suara mereka saat pemilu.
Aku heran, terus saja heran ketika warna merah dan putih harus jadi dompleng untuk warna lain berkibar paling tinggi.

Ternyata hanya saat berteriak mereka berbicara soal kepentingan bangsa dan soal kesatuan, saat berbicara dan berlaku dalam kesehariannya yang mereka  selalu didasari golongannya sendiri.

Kemanusiaan ?
Apanya yang  kemanusiaan kalau jumlah berapa rakyat yang kelaparan di Negara sendiri saja tidak tahu ( Memandang sinis).
Patriotisme?
Ada memang, tapi bukan untuk Negara lagi. Karena yang aku lihat mereka hanya mau berkorban uang untuk memberi duit-duit dalam menutupi kebenaran, termasuk membungkam perut-perut rakyat dengan uang agar tidak meneriaki mereka saat mereka kebablasan.

Nasionalisme ?
Bagaimana nasionalisme itu lahir saat kita lupa akan akar kita sendiri, budaya-budaya dilelang habis oleh mode dengan alasan globalisasi, apapun yang tradisional dianggap kuno padahal seperti itulah Indonesia, nasionalisme “tai kucing” kalau mau bicara dengan pemimpin Negara sendiri saja harus bergulat dengan aparat.

Lihat bagaimana jepang membangun negaranya, mereka tidak punya pilihan lain selain berkorban. Keluar duit banyak saat ini bukan masalah Karena dikemudian hari Negara mereka jauh lebih baik dari sebelumnya.

Bagaimana bisa Negara ini dibangun dengan tujuan untuk kesatuan tapi golongan-golongan ini malah berlomba mencari posisi bukan mencari cara bagaimana Negara ini berdiri, di kaki sendiri.

Rakyat-rakyat dibuat hancur wawasannya tentang negaranya sendiri saat mereka harus sibuk dengan media sosialnya.
Aku sendiri tak bisa tahu kabar tentang Negara ku saat media-media ini dikuasai oleh golongan-golongan dan kabar Negara menjadi banyak versi.
Tidak ada pilihan selain memang bergerak. Menjadi kritis adalah hal mutlak yang bisa dilakukan oleh mahasiswa. Karena hanya mahasiswa dan seorang pelajar yang tahu bagaimana bahasa untuk berteriak.
Aparat mungkin akan bicara dengan senjata karena mereka memang hanya mendengar letupan senjata saat dilapangan tembak.
Rakyat kelaparan mungkin akan berteriak meminta makan dan teriakan mereka akan berhenti hanya dengan uang atau bahkan sepiring nasi.


Menurutku mahasiswa adalah lapisan pemuda yang paling tepat berteriak karena mereka yang tau bagaimana berbicara, tanpa menggurui tapi aspirasi tentang keadaan bangsa nya sendiri.
Mahasiswa jurusan ekonomi mungkin akan berbicara soal harga-harga yang semakin naik dengan hitungan mereka sendiri.
Mahasiswa hukum mungkin akan berbicara soal dasar Negara, ketidak adilan hukum dan pelanggarannya.
Mereka harusnya mengkritisi, berbicara dengan bahasa pendidikan mereka kalau ketidak adilan itu memang terjadi.

Generasi ku memang ditinggalkan banyak tanggung jawab lebih berat yang dihasilkan oleh generasi tua dengan golongannya yang merusak sekarang dan sebelumnya.

Tidak ada jalan lain selain kepedulian,
Tidak ada waktu lagi untuk perbaiki Negara lewat masuk golongan karena aku tak punya modal banyak untuk membeli suara seperti  yang generasi tua lakukan.
Aku tak salahkan generasi tua yang jadi pengacau atau yang mengacau, aku berterima kasih untuk menjadi tahu akan kesatuan saat golongan-golongan itu diciptakan oleh mereka.

Aku memang bukan Soekarno yang bisa pengaruhi dunia lewat pidatonya saja, aku juga bukan Syahrir, Hatta yang punya semangat untuk memberontak.  Generasiku bahkan sekarang bukan lagi melawan penjajah tapi melawan bangsa ku sendiri.
Melawan pemerintah dan golongan-golongan penguasa yang tak tahan kritik.
Dunia tidak akan jadi sarang lagi bagi pejuang-pejuang yang selalu lupa arah perjuangannya sendiri kalau kita punya kendali.
Kendali akan kekuasaan, uang, kejujuran, kekuatan, keserakahan.
Keinginanku sudah bulat untuk menghentikan kejadian hari ini agar aku tidak menjadi generasi yang termakan sejarah.
Saatnya untuk berkorban,  bukan lagi berharap keadilan pada mereka yang berjuang dengan golonganya saja.
Sekarang.

Oleh : Jhaihan Farah Nabila





Tidak ada komentar:

Posting Komentar