Rabu, 23 Juli 2014

“catatan PESTA DEMOKRASI saat PEMILU PRESIDEN. ‘Katanya Demokrasi’ (Dari rakyat, oleh rakyat, tapi Untuk Siapa)”





Negara-ku aneh.
Konsepsi hanya tegak berdiri pada masa-masa lampau, dan tanpa membaca-pun yang merasa bagian di dalamnya ikut andil untuk mengamalkan-nya.

Masa sekarang, memang masa dimana aku hidup di masa depan. Instan, sarat akan teknologi, sarat akan kecerdasan itelektual tapi minim dengan nilai moral.

Konsepsi yang dibuat untuk dipahami, dulu. Sekarang hanya dicetak dengan kertas bersampul “Pancasila” dan butir-butir didalamnya yang hanya dibaca setiap hari senin. Itupun hanya pada gedung berseragam merah-putih, putih-biru, putih-abu, dan seragam lainnya. Digedung tempat-ku mencari ilmu kini gaungan orang membaca Pancasila tidak terdengar, kecuali memang dalam kelas filsafat.

Ketika aku benar-benar mengikuti kelas filsafat tentang ideologi ku mungkin aku akan memikirkan kenapa pancasila ini dibuat dan kenapa harus ada lima dan kenapa harus dimulai dengan bangsa yang berketuhanan yang satu.

Banyak orang kuliah tentang ideologi tapi kesehariannya selalu jauh dengan ideologi. Contohnya Negara-ku ini. Negara yang dibuat dengan asas gotong royong dengan bentuk kesatuan pada masa ku kini aku hanya melihat demokrasi yang kebablasan.

Baru-baru ini aku merasa sangat muak melihat orang mendeklarasikan dirinya sebagai pemimpin bangsa dan Negara yang kami tinggali. Ya, benar negaraku sedang pesta demokrasi. Merasa bangga karena bisa memilih siapa pemimpin dari Negara ini. Suara menjadi sangat murah karena bisa ditukar dengan uang selembar lima puluh ribu saja. Sadar tidak kalau kita jual suara kita dengan lima puluh ribu rupiah saja akan berdampak kerugian bermilyar-milyar karena aset Negara  harus dijual untuk menutupi hutang dari uang 50 ribu yang digunakan untuk membeli suara kita?

Aku memang menyetujui  jika pemimpin ini memang harus yang diinginkan. Tapi aku merasa merinding ketika harus pesta dengan uang dibalik tema demokrasi.

Belum lagi setelahnya. Yang tidak menang dan merasa rugi karena telah keluar modal banyak akan merengek-rengek ke Mahkamah Konstitusi dan berteriak tentang kecurangan, tapi tak mau berkaca kalau “Aku” saja tidak jujur.

Setelah itu. Aku dibuat muak dengan pemberitaan dari media satu ke media lain tentang kalian-kalian ini yang akan memimpin bangsa.

Aku kira Negara itu tempat untuk mengabdi. Ada atau tidaknya kekuasaan apa membuat kita tidak bisa mengabdi? Picik. Aku. Melihat banyak uang yang keluar percuma karena pesta demokrasi ini. Hanya karena membuat salah satu terpilih satu milyar habis.

Maka aku meragukan tentang demokrasi. Demokrasi yang benar dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat atau demokrasi yang dibelokkan dari rakyat, oleh rakyat, untuk siapa itu dibenarkan karena pancasila hanya sekedar dibaca hari senin.

Aku tak merasa pintar, hanya saja menyayangkan satu milyar itu habis karena digunakan untuk foto-foto yang kalian pajang di pinggiran jalan kota. Foto-foto itu lusuh dan akhirnya hanya bisa jadi alas tikar untuk tidur mereka yang seharusnya ikut berpesta, kalau memang demokrasi.

Kalau memang ini pestanya rakyat kenapa tak dibuat saja sekolah-sekolah keterampilan untuk bapak-bapak dan ibu-ibu dan para pemuda agar mereka bisa mengais uang tidak dari memungut sampah. Atau biarkan mereka-mereka rakyat yang memang berpesta ini berteduh diatas rumah bukan berselimutkan foto-foto dan janji-janji kalian.

Terlalu sulit memang mengurusi masalah Negara. Beda dengan bangsa yang memang masalahnya Cuma satu yaitu KORUPSI.
Korupsi ideologi, korupsi uang, korupsi kekuasaan, korupsi waktu, korupsi lain-lain.

Aku rasa yang seharusnya membaca pacasila bukan anak SD, SMP, SMA tapi kami-kami para mahasiswa dan kalian-kalian para sarjana, doctor, professor dan petinggi-petinggi ber-Safari.

Merasa bahwa Negara ini sudah ada pemerintahnya jadi cukup pemerintah saja yang urusi Negara ini. Terlalu singkat.

Untuk bahagia karena aku sebagai rakyat sedang berpesta. Aku tidak suka. Karena siapapun yang menang kalau sebatas kekuasaan yang diperebutkan tetap bukan rakyat yang menang.


Pesta demokrasi yang seharusnya jadi peringatan kecintaan kita akan tanah air ini. Malah dirubah jadi ajang pasang-pasang foto. Bayangkan mereka pasang foto mereka untuk berkenalan dengan apa milik mereka sendiri. Padahal apa yang mereka suarakan adalah tentang ingin membangun Negara dan tanah air mereka sendiri. Masalahnya terletak pada rasa cinta mereka dan kita semua pada bangsa kita ini. Rasa cinta akan tumbuh ketika kita mengenal objeknya. Dengan landasan Negara saja sudah jauh apa masih mau dianggap cinta?

“Kalau kita kenal pasti kita menangis karena wilayah kita kaya tapi rakyat nya miskin dan kelaparan. Pemimpinnya miskin dengan moral”.

Masih terlalu banyak kaum munafik yang mengatas namakan pesta demokrasi dan rakyat bahkan Negara demi kepentingan yang tidak berkaitan sama sekali dengan negaranya.
Pembangunan tidak merata. Karena hanya Pulau Jawa yang selalu masuk televisi dan Koran membuat mereka yang mau memimpin bangsa ini membuat janji akan melakukan pembangunan Indonesia, Di Pulau Jawa.

Kasihan sekali saudara-saudara-ku di Papua, mereka dekat dengan emas dan memiliki uang yang lahir dari kekayaan alam mereka sendiri harus rela tidak bersentuhan dengan aksara agar yang tau Indonesia itu kaya hanya orang-orang pintar yang keblinger saja.

Aku rindu. Rindu semangat rakyat dengan patriotisme terhadap bangsanya sendiri.
Aku rindu. Cut nyak dien yang berteriak paling keras dengan perjuangannya akan kemerdekaan bangsanya walaupun dia perempuan.
Aku rindu. Rindu pada bung Karno yang dengan bicaranya saja semua dunia merasa seperti tersambar petir.
Aku rindu. Rindu kita semua yang sekarang semakin jauh dengan politik.

Patriotisme tidak dapat dilihat dari slogan-slogan dan lambang-lambang atau foto-foto kalian untuk kami nilai pantas atau tidak saat kami diharuskan berpesta demokrasi agar benar memang hasilnya untuk kami nanti.

Sedih sekali ketika harus menilai patriotisme dari selembar uang lima puluh ribu atau sehelai kaus. Aku bukan menyalahkan rakyat yang tidak tahu buta tulis. Aku menyayangkan anak-anak yang tidak bisa sekolah karena tidak punya uang. Ketika sudah dewasa dan jadi pemuda yang seharusnya tumbuh untuk menjadi generasi penerus bangsa yang penuh dengan integritas malah tumbuh jadi generasi yang brutal dan hanya tau uang.

 Aku tak menyalahkan kalau  mereka hanya tau uang karena kalian-kalian yang menikmati hasil pesta demokrasi mungkin sudah kenal dengan uang lima puluh ribu yang bahkan kalian bagi-bagi begitu saja saat deklarasi.

Teman-teman pemuda. Teman-teman yang mungkin masih bisa menggunakan kedua jarinya untuk menulis, masih mendengar dengan baik, masih melihat dengan jelas, masih berjalan dengan kedua kaki kanan dan kiri. Bantu generasi kita untuk membuat generasi selanjutnya tau tentang Negara nya. Mereka yang tidak tau dan pesta dengan uang 50 ribu saja berhak juga atas kemerdekaan yang memanusiakan manusia. Kita adalah pemuda. Kita juga yang bertanggung jawab atas bangsa kita walau kita bukan pembuat masalahnya.

Kalau memang ini pesta demokrasi. Ikuti.
Kalau memang harus memilih. Pilih dengan hati nurani dan pertimbangkan bangsa ini bukan diri kalian sendiri.
Kalau memang harus berkorban, berkorban walau hanya waktu 15 menit untuk mengenalkan rakyat-rakyat yang jauh dengan bangsa karena tidak tahu caranya membaca. Ajarkan mereka baca.
Kalau memang ingin berjuang dan dipilih, maka visi, misi dan aksi, bukan hanya tempe.

Kalian yang dipilihpun sebelumnya rakyat seperti kami. Kami sedang berpesta sekarang.
Pesta ini pesta demokrasi. Bukan pesta kekuasaan saat menang langsung bikin pesta dengan kolega partai.
Kalau sudah dipilih jangan lupa dengan janji. Yang memilih jangan lupa tagih janji untuk tunaikan kewajiban. Kalau tidak menjalankan kewajiban jangan segan-segan untuk di kritik.

Dengarkan KAMI. Karena KAMI yang berpesta, cintai kami karena kami bagian dari INDONESIA.

(bagian dari catatan LIR-ILIR )


Oleh : Jhaihan Farah Nabila

Tidak ada komentar:

Posting Komentar